Wednesday

Boneka Rumput Hidup Digandrungi Para Mahasiswa

Horta memang boneka. Tapi “rambutnya” bisa tumbuh seperti manusia. Itulah karya inovasi Asep Rodiansah dan kawan-kawan. Wiyono

Boneka RumputBila Asep Rodiansah dan konco-konco bersama produk boneka rumputnya sampai kini masih berkutat di sekitar lingkungan kampus, itu bukan untuk bermaksud membatasi pasar. Harap maklum, sekelompok anak muda tersebut belum lagi setahun rampung pendidikan dan baru pada awal 2007 fokus mengembangkan hasil karya mereka menjadi produk komersil. Jadi walaupun riset produk sudah diawali sejak 2004, tetapi belum genap setahun boneka Horta resmi dijadikan dagangan. “Enaknya di kampus, salah satunya meskipun penjualannya flat tetapi pasarnya pasti selalu ada dan baru,” kilah mantan mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB itu.


Boneka Horta, lalu apa istimewanya? Sejatinya tujuan awal dari mainan edukasi hasil gagasan Asep dengan kelompoknya itu tidak lain sebagai sarana pengenalan pertanian bagi anak-anak. Supaya menarik, media tanaman dikemas dalam bentuk menarik menyerupai boneka manusia, dilengkapi benih beserta bahan-bahan yang diperlukan untuk pertumbuhan (media hidroponik). Prakteknya, agar benih rumput itu tumbuh maka harus direndam dalam air sejam atau lebih dengan posisi terbalik, lalu harus disiram secara rutin minimal dua kali sehari. Pada hari ketiga atau paling lama seminggu, akan mulai tumbuh kecambah di atas kepala boneka. Seterusnya jadilah sebuah boneka dengan rambut kepala yang bisa tumbuh panjang. Mendidik, sekaligus tampak lucu dan menarik.

Peluang bisnis boneka Horta karya Asep dan kawan-kawan mulai terbuka ketika saat dilombakan sempat masuk menjadi salah satu finalis dalam ajang Innovative Entrepreneurship Challenge 2006 yang diselenggarakan pihak kampus. Meski tidak sampai meraih juara satu, nyatanya banyak yang tertarik dan menawarkan kerjasama. Terlebih, seperti dikatakan, sampai sekarang yang beli bukan hanya anak-anak TK dan SD, tetapi kebanyakan malah para mahasiswa.

Maka untuk memenuhi selera pasar, jika pada awalnya mereka hanya membuat satu model, kini mulai dikembangkan bentuk-bentuk boneka dengan berbagai model, seperti kura-kura dan sebagainya. “Tidak sampai satu tahun sudah kita adakan beberapa variasi agar tidak boring,” ungkap Asep. Pada awalnya kelompok itu terdiri dari tujuh orang., tetapi kini tinggal berenam, dan yang aktif mengelola bisnis sebanyak tiga orang, Asep, Nisa, serta Didin. Kebetulah Asep adalah perisetnya, penelitian dilakukan hampir selama 6 bulan dengan mencoba bermacam-macam varietas benih. Nama Horta tidak lain kependekan dari ‘hortikultura’, sekadar pengingat sekaligus kebanggaan atas fakultas asalnya.

Media pertumbuhan sekaligus sebagai untuk membentuk boneka dipakai bahan limbah serbuk gergaji dari jenis kayu tertentu, mudah diperoleh. Persoalannya justru di benih rumputnya. Dikatakan, selain susah diperoleh harganya juga agak mahal. Berdasarkan penelitian, tidak sembarang benih rumput-rumputan bisa diaplikasikan pada media boneka Horta. Dari jenis varietas yang berbeda kualitas yang diperoleh pun berlainan.

Jadi, pada awalnya setiap kali membeli bahan mesti diuji terlebih dahulu. Malah sebelumnya pernah coba-coba menggunakan benih lokal, tetapi ternyata kurang berhasil. Oleh karena itu sampai sekarang mereka hanya mau menyebutkan jenis rumput, tetapi varietasnya merupakan paten yang dirahasiakan.

Diakui, boneka rumput sejatinya bukan murni berasal dari gagasan anak-anak IPB tersebut. Mereka awalnya sudah tahu ada boneka rumput dari Nederland tetapi benih dan bahan yang dipergunakan berbeda oleh karenanya cara pembuatannya juga berbeda. Boneka dengan tanaman ini dibuat paling lama mampu bertahan hidup 3 bulan. “Kita set demikian agar beli lagi,” kelakar Asep. “Tapi memang terbatas, di media yang terbatas tanaman sudah semestinya tidak bisa tumbuh dalam waktu lama,” imbuhnya serius.

Saat ini calon pembeli dapat menjumpai boneka-boneka unik tersebut di kios Kreatif “Horta”. Di samping itu kerja sama pemasaran direct selling lainnya juga ditawarkan kepada masyarakat umum. Untuk itu Asep menekankan beberapa aturan main dan persyaratan, antara lain harus jujur. Sebab agar harga jual seragam, harga distribusi pada tiap wilayah ditetapkan berlainan dengan memakai sistem subsidi silang, sehingga harga ‘grosir’ di Bogor, Jakarta, maupun ke luar daerah tidak sama, “Harga lokal (Bogor) Rp 12.500 sedangkan harga distributor Rp 10.000,00. Tetapi kalau untuk dijual di Sumatera harga kita sesuaikan lagi,” jelas kelahiran Bandung 1984 itu namun tanpa keterangan lebih lanjut.

Disebutkan pula, produk yang sudah keluar dari Horta tidak dapat ditarik kembali.serta dengan memakai sistem beli putus. Persoalannya, pada saat membeli benih, mereka terus menghitung mundur masa kadaluwarsa yang terbatas hingga beberapa bulan saja. Hal itu pula yang menyebabkan produksi Horta tidak bisa dilakukan secara jor-joran. Sistem produksi dilakukan kontinyu dengan kapasitas produksi tiap model mencapai 100 biji/hari. Tetapi mereka tetap harus memperhitungkan daya serap pasar pada saat yang bersangkutan.

Saat ramai penjualan biasanya bertepatan menjelang penerimaan mahasiswa baru, saat liburan bulan puasa atau musim liburan lainnya, yakni ketika banyak mahasiswa pulang kampung. Mereka akan menyempatkan membeli boneka Horta sebagai oleh-oleh benda kenangan dari IPB. Pada saat seperti itu maka omset produksi akan dinaikkan hingga lebih dari 50%, Sebaliknya ketika pembelian sedang sepi, produksi pun dikurangi. Dalam kondisi normal omset penjualannya mencapai 600-1.000 buah per bulan.

Meskipun relatif masih kecil, Asep yakin produk boneka rumput mempunyai peluang pasar tersendiri. Apalagi bersama rekan-rekannya mereka punya gagasan bakal punya pabrik khusus, lalu membuat produk bermacam-macam jenis, termasuk juga produk limited edition, seperti misalnya boneka dengan aksesori etnik budaya Nusantara, atau dengan tema-tema tertentu, tema Natal, umpamanya. Jenis rumputnya, dapat juga dibuat pirang, merah, dan sebagainya. “Teknologinya sudah ada, tetapi mahal,” tukasnya.

Maka permasalahan permodalan masih menjadi salah satu faktor kendala. Diungkapkan, modal awal yang mereka terima dari Dikti tahun lalu sekitar Rp 4 jutaan, sebetulnya sampai kini sudah berkembang dua kali lipat lebih, hanya dalam waktu kurang dari setahun. Tetapi mereka berprinsip, produksi tetap dilakukan internal alias belum membuka kesempatan kerja sama. Setidak-tidaknya, hingga mereka merasa siap berhubungan dengan investor luar. Kita tunggu saja.

Source : majalahpengusaha.com

Tas foto diri banyak dicari
Tip bisnis pernak pernik
Toko online bermodal rp 105 ribu
Masa sekolah melatih anjing
Usaha permainan anak
Membangun pusat kecantikan
Franchise nasi uduk gondangdia

0 comments: