SARS Membuat Lumpuh Bisnis Sarang Burung Walet
Rembang, Kompas - Sindrom pernapasan akut parah (SARS) tidak hanya menimbulkan kepanikan pada sebagian masyarakat Indonesia. Namun, bisnis sarang burung walet pun ikut lumpuh. Ini disebabkan konsumen utama sarang burung walet, yang terdiri dari warga Hongkong dan Singapura, sampai sekarang tidak berani keluar rumah untuk mengobrol sambil menyantap makanan bermenu sarang burung.
Demikian diungkapkan pengurus Asosiasi Sarang Burung Mustika (ASBM) Kabupaten Blora Agus Harahap dan pengusaha sarang burung walet asal Surabaya, Wiem Kosasih, yang dihubungi Minggu (11/5) malam.
"Ini pukulan berat kedua bagi pengusaha sarang burung walet setelah pukulan telak pertama berupa rusaknya hutan yang mengakibatkan porak-porandanya habitat burung walet," kata Harahap.
Menurut informasi yang dikumpulkan Wiem dan Harahap, sejak virus SARS merambah ke Hongkong dan Singapura, sebagian besar penduduknya takut ke luar rumah. Mereka untuk sementara banyak meluangkan waktunya di rumah.
"Padahal selama ini di antara mereka banyak yang punya hobi ke luar rumah untuk ngobrol di tempat terbuka sambil makan dan minum. Salah satu menu makanan yang mereka sukai adalah dari bahan sarang burung walet. Kami tidak tahu kapan kondisi bisnis sarang burung walet lancar kembali seperti sedia kala," ujar Wiem.
Akibat lumpuhnya bisnis sarang burung walet tersebut, sebagian besar pemilik/pengusaha rumah sarang burung walet yang tersebar di 400 lokasi di seluruh Kabupaten Blora untuk sementara ini belum "berani" menjual produknya. Harganya pun merosot dari rata-rata Rp 17 juta menjadi Rp 10 juta per kilogram. Itu pun pembelinya juga belum ada .
Modal besar
Menurut Susanto Raharjo, pemilik dua rumah sarang burung walet di Blora, dalam menggeluti usaha ini tidak hanya dibutuhkan biaya cukup besar, tetapi juga dibutuhkan keberuntungan.
Buktinya adalah yang dialami Susanto sendiri. Susanto memiliki satu rumah sarang burung walet yang terletak di Jalan Raya Blora–Purwodadi berukuran panjang 20 meter dengan lebar enam meter. Ketebalan temboknya hampir 1,5 meter dengan cor besi bertulang dua lapis. Di bagian atap juga dilapisi lembaran baja 1-2 sentimeter dan pintunya dilapisi pengaman.
"Rumah sarang burung walet itu saya bangun tahun 2001. Biayanya ratusan juta rupiah. Sedangkan sebuah rumah sarang burung walet sudah saya bangun beberapa tahun lalu. Kami harus mengeluarkan biaya untuk sejumlah penjaga malam. Jika tidak dijaga, kemungkinan besar dibobol dan dijarah. Rumah sarang burung walet saya sudah beberapa kali dibobol dan dijarah. Padahal, belum banyak menghasilkan seperti rumah sarang burung walet lainnya," tuturnya.
Burung walet (Collocalia vestita) itu sendiri tergolong jenis burung yang berperilaku dan memiliki kebiasaan khas, antara lain makanan utamanya serangga terbang, khususnya wereng, belalang, semut bersayap, laron, dan kumbang ukuran kecil.
Pada pukul 05.00 sampai pukul 16.00, mereka aktif mencari makan. Menjelang matahari tenggelam, barulah burung walet pulang ke kandang masing-masing.
Khusus di Kabupaten Blora, para pengusaha rumah sarang walet dikenai pajak. Pada tahun 2002, pajak yang terkumpul Rp 240 juta. Target 2003 diturunkan menjadi Rp 200 juta.
Adapun penghasil sarang burung walet terbesar di Jawa Tengah adalah Kabupaten Pemalang, Pekalongan, Grobogan, disusul daerah lain seperti Kebumen, Blora, dan Kudus. (sup)
kompas.com 2003
0 comments:
Post a Comment